Review “Penari Dari Serdang”

#NgereadKuy

#KMC9

#BacaBuku


Judul: Penari Dari Serdang (Serampang Cinta di Negeri Melayu)

Penulis: Yudhistira ANM Massardi

Penerbit: PT Grammedia Pustaka Utama

ISBN: 978-602-06-2237-8

ISBN Digital: 978-602-06-2238-5

 

Pertama kali aku melihat sampul buku ini di Ipusnas langsung membuatku berpikir bahwa novel ini akan menceritakan seorang penari muda dan berbakat. Kisah cinta atau kehidupan seorang penari yang kental. Meski aku tak tau Serdang itu apa. Ya, ternyata itu adalah sebuah desa di Sumatera Utara.

Ketika mulai membaca di sebuah halaman sebelum bab satu, semacam sebuah prosais mungkin, membuatku mengira kalau ini kisah cinta yang di campur dengan kebudayaan tari di Serdang. Akan tetapi, tidak. Itu terbukti salah, ketika aku langsung ke bagian akhir, di mana blurb ada.

Kalau cinta, jangan dibunuh. Perjuangkan!

Perempuan itu tersenyum dengan sepasang mata bundar dan setangkup bibir tipis. Hidungnya yang bangir bertakhta di wajah tirus putih. Rambutnya sedikit berombak, lepas terurai. Dialah Putri Chaya, seorang penari rupawan yang menjerat hati Bagus.

Pertemuan singkat itu, tak hanya mampu membuat Bagus dimabuk kepayang, juga membuka matanya soal sepotong sejarah Melayu yang tersingkirkan. Sejarah perihal Sumatera Timur yang tak hanya dilupakan oleh penduduk sekitar, juga tak dianggap oleh Pemerintah Pusat. Juga membawanya bersua dengan tengku Natashya, perempuan menawan keturunan bangsawan sekaligus pegiat kebudayaan.

Bagus tak bisa menampik ketika dua perempuan itu sama-sama memberinya cinta. Hatinya dipenuhi kebahagiaan. Dahaganya terpuaskan. Namun, di Jakarta dia telah dinanti Mia, istri beserta kedua anaknya. Ke manakah hatinya akan disandarkan? Cinta milik siapa yang harus Bagus perjuangkan?

Cinta selalu menyimpan kejutan di setiap episodenya.

Yup, dari blurb tersebut tampak seperti apa kisah yang akan diangkat dalam novel ini. Semacam sebuah tragedi cinta segitiga atau segi empat? Aku tak tau harus menyebutnya apa. Seorang lelaki yang tak bertanggung jawab? Sekiranya itu lebih cocok.

Novel ini ada 338 halaman, terhitung dari cover dan back cover. Bab satu dimulai dari halaman lima belas dan diakhiri oleh bab sembilan puluh, halaman 330. Disusul dengan bionarasi sang penulis.

Masuk ke bab awal, disuguhkan tentang Bagus yang harus berangkat ke Medan sebab menjadi juri di sebuah lomba nasional tingkat SD dan SMP. Bagus merupakan seorang wartawan sekaligus sastrawan terkenal. Dari lomba inilah dia bertemu dengan Chaya yang digambarkan cantik nan rupawan.

Kisah pun bergulir. Bagus akan terlibat kerja dengan Tengku Natashya, memperjuangkan banyak hal sehingga mereka termasuk  Chaya terlibat dan semakin dekat. Kemudian bagaimana mereka bertiga bisa terpecah, hmm, lebih tepatnya kedua wanita tersebut. Lantas, bagaimana nasib Mia? Temukan sendiri jawabannya.

Jika boleh jujur, sebenarnya aku bosan dengan novel ini. Biasanya, aku sanggup menuntaskan 300 halaman dengan waktu tiga jam sampai empat jam an. Namun, aku benar-benar menghabiskan novel ini hampir tiga hari. Cukup sulit membangun semangat membaca novel ini lagi.

Menurut saya, ini menjadi kisah perselingkuhan penuh nafsu. Padahal Chaya beberapa kali mengatakan “jangan pakai nafsu”. Aneh, ‘kan?

Novel ini terbagi menjadi dua bagian. Bagian pertama lebih menceritakan seperti apa budaya melayu dan Medan. Bagian kedua menceritakan tentang kisah cinta. Meski begitu, kupikir kedua bagian tersebut beda tipis. Bagian pertama memang menceritakan tentang budaya, tetapi cara penulis memasukkan itu semua cukup kasar, semacam menulis pada sebuah artikel yang cukup kaku, dan konyolnya, di bagian pertama ini penulis memasukkan kata-kata dewasa. Jika kalian membeli buku ini, terdapat tanda 18+ di back cover. Kalau tidak jeli, pasti terjebak dengan covernya yang lucu dan tak ada tanda-tanda bahwa novel ini akan mengarah ke sana.

Meski tidak ada adegan yang ditulis secara rinci mereka melakukan apa dan di dukung oleh alasan lainnya, tetapi cukup bagiku mengatakan bahwa novel ini seharusnya masuk ke ranah 21+. Bukan hanya itu, di bagian pertama pula aku sudah menemukan banyak sekali kejanggalan. Di bagian dua, kegilaan ini semakin gila. Di awal, aku sudah menyimpulkan kalau Bagus adalah seorang bajingan, tetapi entah kenapa semakin kesini semua tokoh menjadi bajingan pula?

Aku menduga kalau penulis ingin mengusung tema melayu, mengangkat budaya-budaya disekitar Serdang, Medan dan sekitarnya. Namun, menurutku eksekusinya kurang tepat. Hanya satu hal yang membuat saya mau membaca novel ini sampai habis adalah budaya-budaya itu sendiri.

Komentar