Cerpen: Sepotong luka

 

#KKNIAINkediri

#KKN76 

 


(Image from pixabay)

^^^

            Pojok rumahku dipenuhi lubang tikus, berwara-wiri mengalahkan kucing itu sendiri, seolah mengatakan bahwa mereka benar-benar berani. Tidak masalah, memang itu kenyataannya. Ibuku selalu berjerit ketika tikus lewat di bawah kursinya saat meneguk teh hangat, hingga berakhir tumpah di dadanya. Namun beliau tidak pernah mengganti bajunya, sebab teh itu tidaklah manis, lantas semut mana yang mau? Bapak sendiri sampai pusing ketika dengan terpaksa menerima kopi pahitnya semakin pahit. Tidak ada pekerjaan, membuatnya kami tidak memiliki apa pun lagi: persediaan sebelumnya sudah habis, termasuk gula dan minyak, sedangkan teh dan bubuk sudah bisa dilihat kesekaratannya.

          Siapa yang bisa menduga bahwa apa yang terjadi di beberapa bulan ini membuat khalayak ramai semakin ramai dengan tingkahnya sendiri. Banyak orang yang bingung, aku jjuga tidak mengerti kenapa sekolahku menjadi di liburkan: tidak ada teman, tidak ada tetangga, tidak ada kerabat yang menjenguk. Masing-masing terpontang-panting dengan urusan pribadi. Sama seperti keluarga kami.

            Di atas meja makan telah tersedia sepiring nasi dengan sambal terasi. Hidup kami telah susah sedari dulu. Kata orang, sesepuh kami adalah orang terkaya di desa, dan lambat laun menjadi turun, musnah tak bersisa semenjak kakak bapak sakit-sakitan. Harta sudah tiada, pun yang diperjuangkan dan yang memperjuangkan. Dan bapak menjadi hidup sendiri setelahnya.

           Dari ayam menjadi kambing, dari kambing menjadi sapi, lantas berubah menjadi ayam kembali dalam waktu yang cukup singkat. “Bapak sudah makan?” ucapku menyambut keluhan bapak yang tak kunjung mendapat pekerjaan.

            Bapak mengelus puncak kepalaku. “Kau sendiri sudah makan? Makanlah dulu.”

         Aku mengangguk, membuka tudung saji dan mengambil beberap sendok nasi. Lantas tak sengaja mendengar ibu berkata, “Mas, beras untuk besok sudah gak ada lagi,” keluh ibu sedangkan bapak mengehela napas lebih besar. Meraup serakah udara lantas menhembuskannya perlahan. Tidak ada apa pun yang lebih berguna selain menjernihkan pikiran. Aku pikir itu yang diinginkan bapak sekarang.

        Umurnya sudah tua, mungkin hampir setengah abad lamanya. Kerutan di dahi menjadi pertanda, dan terus bertambah seiring waktu berjalan, memikirkan anak-anak dan istrinya. Ditambah lagi kondisi saat ini. Oh, iya, jangan lupakan nenek yang terbujur lemah di atas dipan tanpa kasur. Dulu nenek memiliki ranjang yang lebih baik dari pada sekarang, hanya saja sudah terjual untuk kehidupan sehari-hari. Rumah ini juga nyaris tidak memiliki sisa.

            “Maaf, ya, aku nyusahin kamu. Seharusnya kamu gak nikah sama aku.” Penyesalan dan emosi meletup di dalam dada bapak. Aku medengarnya juga tak luput dari tangis. “Nanti aku akan bertanya ke Pak Budi, kira-kira kapan dana pemerintah akan cair.”

            “Aku dengar dari tetangga, uang itu masih butuh waktu satu atau dua bulan lagi, Mas.”

            Alamak! Kepala bapak semakin tersender di dinding rumah. “Aku akan jual ponsel saja.”

            “Jangan,” sergah ibu.

          Ya, aku mengerti kenapa ibu melarang bapak menjual ponsel tersebut. Hanya ponsel itulah barang berharga yang tersisa di rumah kami. Jika kakak ibu menelpon dan tidak bisa dihubungi, maka bapak tidak bisa membayangkan akibatnya: aku, adik, dan ibu akan di boyong pergi. Ibu berasal dari orang berada, sebenarnya jika keluarga bapak tidak bangkrut, status ekonomi yang dimiliki bapak jauh lebih tinggi. Namun, seperti inilah hidup. Bahkan aku juga bingung harus melakukan apa.

            Samar-samar terdengar rintihan, aku melotot. “Bapak, Nenek!” seruku, langsung terlonjak dari kursi.

            Itulah akhir dari masa bahagia nenek. Meninggal dengan tenang, tanpa harus memikirkan kehidupan ibu dan bapak yang semakin terpuruk. Aku berterimakasih kepada Tuhan, setidaknya, dengan begini nenek tidak perlu mendengar keluhan ibu dan bapak. Tidak akan ada lagi. Ah, tentu saja ini hanya alibi kesedihanku.

         Pada akhirnya, kematian nenek sedikit membantu kehidupan kami. Tetangga melayat: membawa semangkuk beras dan ada juga yang memberikan uang. Yang aku tahu, bapak tidak senang dengan uang-uang tersebut. Bapak masih merasa bersalah. “Buk, maafin aku,” ucap bapak.

            Para tetangga yang tidak senang, dengan secepat kilat berhasil menyebarkan gossip bahwa nenekku meninggal karena tidak diobati dengan baik, dan dijadikan kesempatan untuk mencari uang di masa-masa sulit ini. Aku mendengarnya, makam nenek masihlah basah. Hanya saja, apa pun yang terjadi, kami tidak peduli. Sebab hanya kami yang tau kebenarnya, bukan masyarakat, para pejabat dan presiden. Kisah kami hanya sekian juta persen dari puluhan milliar luka yang tersimpan selama masa-masa sulit ini.

Komentar